Trik Narsisis Mengaku Korban agar Dapat Simpati dari Banyak Orang

Converted image

Pernahkah kamu berada dalam situasi di mana seseorang yang menyakitimu justru mendapat simpati dari orang lain? Anehnya, mereka menangis, menceritakan kisah penuh luka, dan menyudutkan kamu seolah kamulah yang merusak hubungan. Jika ini terdengar familiar, bisa jadi kamu sedang berhadapan dengan narsisis yang sedang memainkan peran sebagai korban.

Mengapa Narsisis Suka Berpura-pura Jadi Korban?

Bagi narsisis, simpati adalah sumber energi. Mereka memanfaatkan peran sebagai korban untuk menciptakan narasi dramatis yang membelokkan fakta. Tujuannya bukan sekadar untuk “dikasihani”, tetapi agar mereka tetap jadi pusat perhatian dan terbebas dari tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.

Menurut penelitian dari Stanley B. Klein dan rekan-rekannya (2002), memainkan peran korban dapat memicu reaksi empatik dari orang lain bahkan ketika narasinya tidak sepenuhnya benar. Ini yang sering dimanfaatkan oleh pelaku manipulasi emosional.

Bagaimana Mereka Memainkan Drama Ini?

  • Membesar-besarkan luka: Mereka menampilkan versi “sangat menyedihkan” dari situasi mereka.
  • Framing sepihak: Mengisahkan hubungan yang seolah hanya mereka yang disakiti, tanpa menyebut perlakuan mereka sendiri.
  • Menggunakan air mata sebagai senjata: Tangisan bukan sekadar ekspresi emosi, tapi alat untuk mengendalikan empati orang lain.
  • Memutarbalikkan fakta: Inilah inti dari gaslighting — membuat kamu tampak kejam, padahal kamu sedang membela diri.

Mengapa Banyak Orang Tertipu?

Otak manusia secara alami merespons penderitaan dengan empati. Ketika seseorang bercerita dengan air mata, nada lembut, dan bahasa tubuh penuh luka, kita mudah percaya. Apalagi jika kita tidak mendengar sisi lain dari cerita.

Sayangnya, inilah celah yang dimanfaatkan narsisis. Mereka tahu bahwa di mata publik, siapa yang tampak paling menderita, dialah yang akan dibela.

Tanda-Tanda Kamu Sedang Menghadapi “Korban Palsu”

  • Konsistensi cerita mereka sering berubah-ubah tergantung audiens.
  • Mereka menghindari konfrontasi fakta, tapi gencar menyebar cerita ke orang lain.
  • Mereka menyalahkan semua orang, tapi tidak pernah mengakui kesalahan sendiri.
  • Sering memancing rasa kasihan secara tiba-tiba setelah hubungan renggang.
Baca Juga:  Apa yang Membuat Orang Narsistik Mudah Marah dan Agresif?

Akibatnya bagi Korban yang Sesungguhnya

Korban asli sering merasa terisolasi, dipermalukan secara sosial, dan bahkan mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Ini bisa menyebabkan trauma mendalam, rasa bersalah palsu, hingga kesulitan membangun kepercayaan di hubungan berikutnya.

Yang Bisa Kamu Lakukan

  • Jaga bukti komunikasi: Simpan pesan atau rekaman yang bisa menunjukkan fakta sebenarnya.
  • Jangan terpancing untuk “meluruskan” ke semua orang: Pilih audiens yang bisa dipercaya untuk menghindari drama berkelanjutan.
  • Fokus pada healing, bukan pembenaran: Kamu tidak harus membuktikan apa pun ke semua orang untuk memvalidasi perasaanmu.
  • Konsultasi ke profesional: Psikolog bisa membantumu memilah realitas dan membangun ulang kepercayaan diri.

Ingat, tidak semua yang menangis adalah korban. Kadang, air mata hanyalah topeng manipulasi.

Jika kamu merasa pernah mengalami ini, percayalah: kamu tidak berlebihan. Kamu sedang membela dirimu.


Sumber:

  • Klein, S. B., et al. (2002). The illusion of transparency and the altruistic behavior of playing the victim. *Journal of Personality and Social Psychology.*
  • Brown, B. (2012). *Daring Greatly.* Gotham Books.
  • McGregor, I., & Marigold, D. C. (2003). Defensive Self-Esteem and Narcissism. *Psychological Science.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Isi form berikut untuk berlangganan artikel terbaru Edukasi NPD