Pernahkah kamu merasa lega—bahkan senang luar biasa—saat unggahanmu mendapat banyak likes dan komentar? Atau sebaliknya, merasa kecewa ketika tidak ada yang merespons? Di balik fenomena ini, ada satu pertanyaan besar yang patut direnungkan: apakah media sosial membuat kita lebih narsistik?
Apa Itu NPD dan Mengapa Media Sosial Dituding Berperan?
Narcissistic Personality Disorder (NPD) adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan perasaan penting diri yang berlebihan, butuh pujian terus-menerus, dan kurangnya empati. Tapi perlu dibedakan dengan narsisme ringan atau keinginan tampil baik di depan orang lain—yang sebenarnya wajar dalam kadar tertentu.
Dalam konteks media sosial, kita sering melihat perilaku seperti membangun citra ideal, membagikan pencapaian secara selektif, hingga berlomba-lomba mendapat pengakuan publik. Ini menjadi “panggung sempurna” bagi individu yang memiliki kecenderungan narsistik.
Penelitian: Media Sosial dan Narsisme Berkaitan?
Sebuah studi dari University of Michigan menemukan bahwa semakin sering seseorang menggunakan media sosial, semakin tinggi skor narsisme yang ditunjukkan, terutama pada platform yang berfokus pada citra diri seperti Instagram dan TikTok.
Dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, dijelaskan bahwa proses seperti image crafting (membentuk citra diri ideal secara digital) berkontribusi pada peningkatan kebutuhan validasi eksternal dan menurunnya kesadaran emosional yang sehat.
Penelitian juga menunjukkan adanya pergeseran dari koneksi sosial yang autentik menjadi kompetisi sosial berbasis popularitas, yang mendorong perilaku narsistik secara tidak langsung.
Dampaknya terhadap Kesehatan Mental dan Hubungan Sosial
Ketika seseorang mulai mengukur harga dirinya dari respons orang lain di media sosial, itu bisa menjadi tanda awal dari kecanduan validasi. Dampaknya tidak main-main:
- Rasa cemas atau minder jika tidak mendapat cukup respons
- Ketergantungan pada penilaian eksternal untuk merasa berharga
- Relasi yang dangkal karena lebih fokus tampil daripada terhubung
- Risiko membentuk kepribadian palsu demi memenuhi ekspektasi audiens
Dalam jangka panjang, ini bisa memicu stres, perasaan kosong, dan bahkan depresi—terutama jika seseorang terlalu menggantungkan identitas dirinya pada validasi online.
Bagaimana Cara Menggunakannya dengan Sehat?
Tidak semua penggunaan media sosial buruk. Yang penting adalah menyadari motivasi di baliknya. Berikut beberapa tips agar kita tidak terjebak dalam pola narsistik:
- Gunakan media sosial sebagai alat ekspresi, bukan alat pengakuan
- Batasi waktu penggunaan dan lakukan digital detox secara berkala
- Fokus membangun koneksi yang tulus, bukan sekadar tampil menarik
- Berani menjadi otentik, meski itu berarti tak selalu terlihat “sempurna”
Penutup
Media sosial bukan penyebab tunggal narsisme, tapi bisa menjadi cermin dan pemicu. Refleksi pentingnya adalah: apakah kita menggunakan media sosial untuk menjadi diri sendiri, atau untuk menciptakan versi palsu dari diri demi diterima?
Karena validasi terbaik bukan datang dari likes—melainkan dari diri sendiri yang utuh dan sadar akan nilai sejatinya.
Sumber:
Andreassen, C. S. et al. (2017). Facebook Use and Narcissism: A Systematic Review. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking.
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The Narcissism Epidemic. Journal of Personality and Social Psychology.
University of Michigan. (2020). Social Media Use Linked to Narcissism in Young Adults.