edukasinpd.com – Bunga. Nama itu saya gunakan untuk menyebut seseorang yang pada awalnya tampak begitu sempurna, seorang wanita yang saya pikir akan membawa kebahagiaan baru dalam hidup saya dan keluarga. Namun, di balik semua itu, ada rahasia besar yang tersembunyi di balik senyumnya, rahasia yang perlahan-lahan menggerogoti kedamaian rumah tangga kami.
Awal yang Tampak Harmonis
Saya dan istri pertama menjalani kehidupan rumah tangga yang baik-baik saja dan harmonis. Hubungan kami dipenuhi rasa saling pengertian dan kepercayaan. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat, dan kehidupan kami stabil.
Namun, ada sesuatu yang selalu menjadi bagian dari diskusi kami, sesuatu yang sudah kami pikirkan dengan matang sejak tujuh tahun lalu: poligami. Kami merasa tidak ada yang salah dengan poligami, apalagi jika dijalankan dengan benar. Poligami adalah jalan yang dipilih oleh para nabi, termasuk Nabi Ibrahim dengan kedua istrinya, nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad SAW, dan beberapa nabi lainnya dalam sejarah kenabian. Praktik ini sering kali dijalankan dengan tujuan tertentu, seperti melindungi kaum lemah, memperkuat hubungan sosial, atau memastikan keberlanjutan generasi.
Saya dan istri pertama banyak belajar dan membaca kisah-kisah tentang Nabi Muhammad dan istri-istrinya. Kami mencoba memahami bagaimana beliau membangun rumah tangga yang penuh hikmah dan kasih sayang. Kami juga berdiskusi dengan para ustadz yang memahami poligami, meminta panduan dan nasihat mereka agar langkah kami ini sesuai dengan syariat.
Keputusan ini tidak diambil dalam waktu singkat. Ada banyak pertimbangan yang kami diskusikan, mulai dari kesiapan emosional, finansial, hingga konsekuensi jangka panjang yang mungkin terjadi. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk mencoba menjalani ini bersama.
Kedekatan dengan Bunga
Kedekatan kami dengan Bunga hanya berlangsung selama lima bulan, meskipun saya mengenalnya lebih lama dari itu namun hanya sebatas kenal biasa saja. Selama lima bulan itu, dia menampilkan sisi yang tampak “sempurna,” seperti gambaran ideal seorang calon istri kedua yang siap bergabung dengan keluarga kami. Dia adalah seorang perempuan yang tampak religius, sukses sebagai pengusaha, aktif dalam organisasi, dan berasal dari keluarga dengan basic pesantren. Kakek buyutnya adalah seorang ulama besar, dan orang tuanya memiliki beberapa pondok pesantren yang terkenal.
Bunga adalah seorang janda dengan dua anak yang dia besarkan sendiri setelah pernikahan pertamanya berakhir. Dalam pandangan saya saat itu, dia adalah sosok wanita mandiri yang penuh dedikasi untuk keluarganya. Dia sering bercerita bahwa dia membutuhkan figur seorang suami yang bisa menjadi pelindung, seseorang yang juga bisa menjadi ayah bagi anak-anaknya yang selama ini dia klaim telah ditelantarkan oleh ayah kandung mereka.
Dukungan Istri Pertama
Istri pertama saya menyambutnya dengan hangat. Mereka menjalin hubungan yang sangat baik hingga istri pertama menganggap Bunga seperti adik kandung sendiri. Sebelum kami menikah, bahkan istri pertama mengajak Bunga untuk bekerja sama dalam bisnis yang telah dia jalankan sebelumnya.
Sebagai bentuk dukungan, istri pertama sangat tegar di pengadilan agama dalam mengurus surat izin poligami, hingga pengurusan izin ini hanya berlangsung sangat singkat. Tidak hanya itu, istri pertama bahkan menyetujui memberikan salah satu aset keluarga kami sebagai mahar pernikahan dengan Bunga. Saya pikir, hubungan yang begitu erat di antara mereka adalah awal yang menjanjikan untuk kehidupan rumah tangga kami.
Pernikahan yang Indah
Pernikahan kami dilakukan secara sah, baik di mata agama maupun negara. Kami mengundang keluarga besar, kerabat, dan teman-teman dekat untuk menyaksikan acara tersebut. Istri pertama dan anak-anak saya juga hadir di acara akad nikah dan pesta kecil tersebut. Banyak yang memuji langkah ini sebagai contoh poligami yang harmonis dan bertanggung jawab.
Hari-hari setelah pernikahan pun terasa seperti mimpi. Hubungan kami berjalan lancar, dan kehidupan poligami yang kami jalani tampak sempurna. Kedua istri saya saling mendukung, dan tidak ada tanda-tanda konflik. Bunga tampak menjadi sosok istri kedua yang sempurna—penuh perhatian, peduli terhadap keluarga, dan memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak saya. Namun, harapan itu tidak berlangsung lama.
Awal Keanehan
Beberapa bulan setelah pernikahan, sisi lain dari Bunga mulai muncul. Ada hal-hal kecil yang awalnya terasa aneh tetapi tidak terlalu saya pikirkan. Salah satunya adalah pengakuannya bahwa dia mampu menghasilkan pendapatan ratusan juta per bulan saat masih menjadi janda. Namun, (maaf) kenyataan yang saya lihat tidak sesuai dengan pengakuannya. Dia tinggal di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana, bahkan kurang pantas untuk seorang wanita yang mengaku memiliki penghasilan sebesar 1/4 dari yg ia klaim: ratusan juta! Apalagi ternyata rumahnya masih dalam cicilan KPR sebesar 3 juta rupiah per bulan.
Kenahenan lainnya adalah tentang keinginannya yang harus selalu dituruti. Jika tidak, dia akan marah besar, tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Pernah, dia marah-marah di sebuah restoran besar hanya karena saya belum bisa memenuhi permintaannya untuk liburan. Saat itu, saya sedang sibuk dengan urusan bisnis.
“Kalau suami tidak bisa memenuhi keinginan istri, buat apa menikah?” katanya keras di depan umum, membuat orang-orang memperhatikan.
Saya mencoba menenangkannya, tapi dia terus marah dengan suara semakin lantang. Saya merasa sangat malu, tapi dia tidak peduli. Kejadian itu membuat saya sadar bahwa ini adalah cara dia untuk mengontrol saya—memaksa saya menyerah melalui rasa malu yang dia ciptakan.
Saya mencoba berpikir positif, menganggap ini adalah fase adaptasi setelah dia hidup sendiri selama bertahun-tahun. Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa ini bukan adaptasi. Ini adalah sifat aslinya. Keinginannya yang tak pernah cukup dan emosinya yang tidak stabil membuat kehidupan kami jauh dari apa yang saya bayangkan.
Yang lebih membingungkan lagi adalah perubahan sikapnya. Sebelum menikah, Bunga bercerita bahwa dia sangat membutuhkan keluarga kami. Dia mengaku membutuhkan sosok suami yang dapat menafkahi dia dan anak-anaknya, yang selama ini disebutnya ditelantarkan oleh ayah kandung mereka. Dia juga mengatakan bahwa anak-anaknya membutuhkan figur ayah, terutama karena usia mereka yang sudah mulai besar.
Istri pertama saya bahkan sudah siap membantu mengatur pola pendidikan untuk anak-anaknya, merasa bahwa ini adalah bentuk kasih sayang kami sebagai keluarga baru.
Namun, setelah menikah, semua cerita itu tampak berbalik. Seolah-olah kami yang membutuhkan dia. Sikapnya mulai berubah, dan dia bersikap seakan kami adalah pihak yang mengejar-ngejar dia. Bahkan, dia bertingkah bak ratu yang harus dilayani.
Saya, keluarga, bahkan karyawan-karyawan saya seolah harus menuruti apa pun yang dia inginkan. Alih-alih menjadi bagian dari keluarga, kami lebih mirip seperti pelayannya.
Namun, saya mencoba untuk tidak berpikir jauh. Saya hanya menganggap bahwa ini mungkin fase adaptasi. Kami baru menikah, dan dia baru saja melepaskan status jandanya setelah lebih dari tujuh tahun hidup sendiri. Saya terus berpikir positif, berusaha mencari alasan untuk setiap keanehan yang muncul.
Emosi yang Berlebihan
Seiring berjalannya waktu, Bunga sering menunjukkan emosi yang berlebihan tanpa alasan yang jelas. Kadang-kadang dia terlihat sangat ketakutan dan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak masuk akal, seperti mengaku melihat penampakan jin di rumah kami.
Dia juga sering meremehkan nafkah yang saya berikan. Dia kerap membandingkannya dengan penghasilannya saat masih menjadi janda, mengatakan bahwa dia mampu menghasilkan ratusan juta setiap bulan. Hal ini tidak hanya merendahkan harga diri saya, tetapi juga memicu ketegangan dalam rumah tangga kami.
Yang membuat saya semakin bingung adalah Bunga sering menceritakan kisah-kisah dengan mantan pacar dan pengalaman masa lalunya. Entah ini untuk membuat saya cemburu atau apa. Cerita-ceritanya ini sering kali tidak pantas, bahkan melewati batas kewajaran pacaran seorang muslimah. Saya merasa tidak nyaman dengan cerita-cerita pacar yang dia sebutkan karena sebelumnya saya telah memintanya untuk fokus pada masa depan bersama, bukan masa lalu.
Namun, semakin dia bercerita, semakin saya menyadari bahwa Bunga mungkin bukan sosok wanita solehah seperti yang dia tampilkan selama ini.
Konsultasi dengan Psikolog
Saya mencoba memahaminya dan membantu sebisa mungkin. Ketika kondisinya semakin memburuk, saya berkonsultasi dengan ayah sambungnya yang merupakan seorang kyai. Beliau menyarankan agar Bunga diruqyah. Saya mengikuti saran tersebut dengan harapan bahwa ini akan membantu mengatasi ketakutannya yang tampak berlebihan. Namun, setelah 4x ruqyah selesai, masalahnya tidak membaik. Keanehan-keanehan yang dia tunjukkan tetap ada, bahkan semakin sulit dimengerti.
Keadaan ini membuat saya berpikir bahwa masalahnya lebih dari sekadar spiritual. Saya memutuskan untuk membawanya ke psikolog untuk mencari tahu akar permasalahan. Awalnya, saya membawa Bunga ke psikolog untuk menyembuhkan luka traumanya. Dia sering menceritakan tentang bagaimana dia menjadi korban KDRT dari suami pertamanya, ditipu oleh suami keduanya yang dinikahi hanya tiga minggu, serta luka masa kecilnya akibat perceraian kedua orang tuanya.
Namun, hasil dari konsultasi tersebut memberikan diagnosis yang mengejutkan: Bunga diduga mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD).
Saran Psikolog yang tak mungkin saya lakukan
Psikolog menyarankan agar saya mempertimbangkan kembali hubungan ini karena NPD adalah kondisi yang sangat sulit, bahkan mustahil untuk disembuhkan sepenuhnya. Secara halus, Psikolog menyarankan saya untuk menceraikan Bunga. Bagaimana mungkin saya menceraikan seseorang yang baru 4 bulan saya nikahi gara-gara sebuah diagnosa NPD yang saya sendiri belum tahu apa itu NPD? Saya merasa tertantang dan bertanggung jawab untuk membantunya mengatasi masalah ini sebagai seorang suami.
Saya mulai mempelajari NPD dari berbagai sumber: buku, jurnal ilmiah, dan konten edukasi dari para ahli. Untuk beberapa saat, saya menyembunyikan diagnosis ini dari Bunga dan keluarganya. Saya berharap bahwa dengan pendekatan yang tepat, saya bisa membantunya berubah.
Namun, apa yang saya pikir sebagai langkah menuju penyembuhan justru membuka pintu menuju babak baru yang lebih sulit dan menyakitkan.
Di balik keras kepala saya untuk menyembuhkan Bunga, saya mulai menyadari bahwa itu adalah perjalanan yang jauh dari mudah. Apa yang sebelumnya hanya menjadi perkataan psikolog tentang Narcissistic Personality Disorder (NPD) mulai terlihat jelas dalam kehidupan kami sehari-hari. Sifat-sifatnya yang sebelumnya tertutupi kini terungkap, menghadirkan kekacauan yang tak pernah saya bayangkan.
Kejadian di Rumah Istri Pertama
Kejadian besar pertama yang memicu konflik adalah saat Bunga mendatangi rumah istri pertama saya. Malam itu saya memang berada di rumah bersama istri pertama dan anak-anak. Tiba-tiba, Bunga datang dengan emosi yang tidak terkendali, marah-marah tanpa alasan yang jelas. Dia berteriak-teriak di depan rumah, membuat suasana menjadi tegang dan menarik perhatian tetangga.
Ketika saya keluar untuk menenangkannya, bukannya mereda, amarahnya justru semakin menjadi-jadi. Dia melontarkan kata-kata tajam yang menyerang saya secara pribadi, seolah-olah saya telah melakukan kesalahan besar. Anak-anak saya, yang sebelumnya begitu hormat kepadanya, mulai kehilangan rasa hormat. Bahkan, istri pertama saya, yang awalnya mendukung hubungan kami, mulai kehilangan rasa hormat. Bahkan, istri pertama saya, yang awalnya mendukung hubungan kami, mulai merasa muak dengan sikap Bunga.
Hubungan yang sebelumnya harmonis perlahan berubah menjadi dingin. Saya mencoba berbicara baik-baik dengannya, namun setiap diskusi berakhir dengan kemarahannya yang meledak-ledak.
Gosip di Kantor
Sekitar satu bulan setelah kejadian itu, masalah baru muncul. Di kantor, saya mulai mendengar desas-desus yang tidak mengenakkan. Gosip beredar di antara karyawan bahwa saya telah melakukan KDRT terhadap Bunga. Kabarnya, saya memukulinya hingga menyebabkan luka-luka lebam di tubuhnya.
Sebagian karyawan saya yang sudah bekerja lama dengan saya tentu saja tidak percaya dengan gosip tersebut. Mereka mengenal saya sebagai atasan yang memperlakukan keluarga dengan hormat, jauh dari kata KDRT. Namun, tetap saja gosip itu tetap membuat suasana di kantor tidak kondusif.
Saya menyelidiki lebih lanjut dan menemukan bahwa gosip ini berasal dari dua karyawan yang sempat datang ke rumah Bunga. Mereka mendengar langsung cerita darinya bahwa saya telah memukulinya. Bahkan, dia menunjukkan luka-luka lebam di tubuhnya sebagai bukti.
Ketika saya mengonfrontasi Bunga dengan bukti dan fakta bahwa saya tidak pernah melakukan hal itu, dia tetap bersikeras menyangkal semua tuduhan yang saya ajukan kepadanya. Dia justru memutarbalikkan fakta, menuduh saya mengada-ada.
Talak Pertama dan Penyesalan
Akumulasi dari semua masalah ini membuat saya merasa bahwa tidak ada jalan keluar lain. Saya berharap Bunga bisa introspeksi diri, menyadari kesalahannya, dan berubah. Dengan berat hati, saya menjatuhkan talak pertama kepadanya.
Bunga menangis, memohon maaf, dan berjanji akan berubah. Malam itu juga, saya luluh, dan kami kembali rujuk. Kehidupan kami setelah itu tampak normal selama beberapa bulan. Dia kembali menunjukkan sisi “sempurna” seperti saat awal pernikahan. Hubungan kami terlihat membaik, begitu pula hubungannya dengan istri pertama saya.
Namun, seperti siklus yang tak pernah berakhir, semua itu hanya sementara.
Keanehan yang Mulai Terungkap
Beberapa bulan setelah rujuk, pola-pola aneh mulai muncul kembali. Salah satunya adalah ketika saya menemukan bahwa sebagian besar kontak di ponselnya hanya berupa nomor-nomor HP tanpa nama. Namun, Bunga sangat hafal nomor-nomor tersebut dan tahu persis siapa pemiliknya.
Sebagian besar nomor itu adalah milik laki-laki!.
Hal lain yang membuat saya semakin bingung adalah kebiasaannya menginap di luar rumah, bahkan beberapa kali di luar kota, tanpa memberi tahu saya. Dia tidak menyadari bahwa mobil yang saya berikan kepadanya dilengkapi dengan GPS, sehingga saya dapat melacak keberadaannya. Dari sana, saya mengetahui bahwa dia sering mengunjungi lokasi-lokasi yang membuat saya bertanya-tanya, seperti menginap di hotel dan tempat-tempat yang sama sekali tidak sesuai dengan alasan-alasannya.
Ketika saya mencoba mengonfrontasinya, jawabannya selalu berbelit-belit dan tidak masuk akal.
Kekerasan yang Tak Terkendali
Pada bulan ketiga setelah rujuk, Bunga mulai menunjukkan perilaku yang semakin sulit dikendalikan. Beberapa kali dia justru meng-KDRT saya dengan mencakar tubuh saya hingga berdarah. Bahkan, dia sering merobek-robek baju saya. Hal ini terjadi lebih dari enam kali.
Istri pertama saya, yang melihat saya pulang dengan luka-luka seperti itu, tentu saja tidak lagi bisa respek dengan Bunga. Hubungan yang sebelumnya hangat antara mereka berubah menjadi sangat dingin. Saya tidak menyalahkan istri pertama saya. Dalam situasi seperti itu, tentu saja istri pertama saya bersedih dengan keadaan ini.
Puncaknya terjadi suatu malam. Bunga kembali mencakar-cakar tubuh saya, memukul, dan merobek baju saya. Saya mencoba menenangkannya dengan memegang kedua tangannya, berharap dia tidak melukai saya lebih jauh. Namun, dia justru berteriak-teriak minta tolong dengan suara yang sangat keras.
Teriakannya membangunkan tetangga. Seseorang menggedor pintu rumah kami, bertanya apa yang terjadi. Saya merasa sangat malu. Malam itu, saya memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuanya—ayah kandung dan ayah angkatnya. Kami sepakat untuk memulangkannya sementara ke rumah keluarganya.
Tiga Bulan di Rumah Orang Tuanya
Selama tiga bulan dia tinggal bersama orang tuanya, saya tetap memberikan nafkah secara penuh. Bahkan, saya memastikan kebutuhan anak-anaknya terpenuhi, meski mereka sebenarnya adalah tanggung jawab ayah kandungnya. Setiap bulan, saya mengunjungi mereka untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Setiap saya datang menemui Bunga saya sambil melakukan evaluasi, saya belum bisa membawanya pulang karena menurut saya Bunga belum berubah.
Selama tiga bulan itu, Bunga banyak memposting fitnah di media sosial, mengatakan bahwa saya meninggalkannya tanpa memberikan nafkah. Padahal, setiap kebutuhan yang dia butuhkan selalu saya penuhi, bahkan lebih dari cukup.
Lebih buruk lagi, saya menemukan bukti dari ponselnya bahwa dia telah berselingkuh dengan dua pria selama saya meninggalkannya di rumah orang tuanya. Saya juga menemukan percakapan Bunga dengan seorang dukun. Di chat tersebut jelas sekali Bunga menanyakan tentang kondisi keuangan saya bulan depan serta hubungan saya dengan istri pertama. Seolah-olah dia mulai menyusun rencana, menerka-nerka cara untuk menyingkirkan istri pertama dari kehidupan saya dan menggantikan posisinya sepenuhnya.
Penemuan yang Mengguncang
Curiga dengan semua ini, saya memutuskan untuk memeriksa rumah kami. Saya membongkar kamar utama dan menemukan dua buah jimat—satu jimat pengasihan yang disimpan di bawah kasur kamar lantai satu, dan satu boneka voodoo bergambar wajah saya, ditusuk dengan tujuh jarum, dibungkus dengan sobekan baju saya. Boneka itu disimpan di bawah kasur utama.
Saya merasa tubuh saya menggigil melihat semua itu. Belum pernah melihat kejahatan seperti ini, apalagi dilakukan istri saya sendiri. Saya kemudian diskusi dengan ayah kandungnya, saya meminta ijin untuk menjatuhkan talak kedua kepada Bunga malam itu. Ayah kandungnya mendukung saya.
Rujuk Kedua yang Singkat
Namun, sebelum masa idah berakhir, Bunga kembali meminta maaf dan berjanji telah bertobat. Dia mengatakan bahwa dia telah meninggalkan semua perbuatan buruknya, termasuk bermain dukun. Dia bahkan mengaku rajin menghadiri kajian-kajian agama di masjid terdekat.
Awalnya, saya tidak terlalu percaya, tetapi cerita-ceritanya serasa menghadirkan harapan baru. Akhirnya, kami rujuk kembali. Minggu-minggu pertama setelah rujuk terasa tenang. Bunga tampak berubah, lebih sopan dan santun. Namun, semua itu hanya berlangsung sekitar enam minggu.
Bunga kembali menunjukkan perilaku lamanya. Kali ini, dia tidak hanya merendahkan saya dengan kata-kata, tetapi juga ketahuan berselingkuh lagi. Saya merasa sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki hubungan ini.
Bukan akhir, ini justru awal yg akan melelahkan.
Ketika saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Bunga, saya berpikir segalanya akan segera selesai. Saya membayangkan bahwa dengan menceraikannya, drama yang selama ini membebani hidup saya akan berakhir. Namun, saya salah. Perpisahan dengan orang yang memiliki Narcissistic Personality Disorder (NPD) tidak pernah sederhana. Itu bukan sekadar akhir dari sebuah hubungan, melainkan awal dari perang baru yang jauh lebih melelahkan.
Fitnah dan Kebohongan yang Terbongkar
Tidak lama setelah saya menyatakan keputusan untuk mengakhiri hubungan ini, Bunga mulai memanfaatkan media sosialnya untuk memutarbalikkan fakta. Akunnya dipenuhi dengan cerita-cerita bahwa saya adalah suami yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan istri tanpa nafkah, dan mengabaikan tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga.
Dia bahkan membuat cerita kepada beberapa teman kami bahwa sebelum menikah, sayalah yang mengejar-ngejar dia selama dua tahun dan sering mengajaknya bepergian ke luar kota. Cerita itu terdengar sangat tidak masuk akal. Pertama, selama dua tahun sebelum pernikahan kami, pembatasan COVID-19 sedang berlangsung, yang membatasi perjalanan antar kota dan aktivitas luar rumah. Fakta ini saja sudah cukup untuk menjawab kebohongan Bunga.
Kedua, satu tahun sebelum pernikahan kami, dia sebenarnya telah bertunangan dengan seseorang dan berencana melangsungkan pernikahan. Namun, acara tersebut dibatalkan hanya tujuh hari sebelum hari H. Undangan sudah tersebar luas, membuat keluarganya sangat malu. jadi bagaimana mungkin saya sering mengajaknya keluar kota dimana saat itu dia dekat dengan tunangannya kala itu ?
Semua cerita palsu yang dia sebarkan seolah dirancang untuk menghapus jejak kesalahannya sendiri, sekaligus merusak citra saya di mata orang-orang yang mengenal kami. Untungnya, orang-orang yang mengenal karakter saya tidak mudah terpengaruh.
Dari cerita fitnah-fitnah yang disebarkan Bunga, justru membuat beberapa teman yang mengenal Bunga dan mengenal saya mulai menghubungi saya. Salah satu yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa Bunga sebenarnya telah memiliki 4 suami sebelum saya!. Saya mencari tahu siapa saja mereka yang akhirnya mereka menceritakan kisah mereka masing-masing, yang ternyata memiliki pola yang sama dengan yang saya alami.
Suami Pertama: Kebohongan yang Terungkap
Dari semua kebohongan Bunga, cerita tentang suami pertamanya adalah salah satu yang paling menyakitkan untuk saya ketahui. Selama ini, Bunga selalu menggambarkan dirinya sebagai korban. Dia mengatakan bahwa dia bercerai karena sering mendapat KDRT dari suami pertama dan karena suaminya berselingkuh.
Namun, setelah berbicara langsung dengan suami pertamanya, saya menemukan fakta yang sangat berbeda. Dia mengatakan bahwa perceraian mereka terjadi karena Bunga sering melakukan KDRT terhadapnya. Selain itu, Bunga juga ketahuan berselingkuh dengan tiga pria berbeda selama pernikahan mereka. Fakta ini diperkuat oleh mantan istri salah satu selingkuhannya, yang menceritakan bahwa video vulgar mereka sempat tersebar saat itu.
“Dia yang menghancurkan pernikahan kami,” ujar suami pertamanya dengan tegas. Karena itulah, hak asuh anak-anak mereka jatuh kepada suaminya ini, yang semakin memperkuat fakta bahwa Bunga bukanlah korban dalam cerita ini.
Cerita ini menggugurkan semua klaim yang pernah Bunga katakan kepada saya. Bunga telah memutarbalikkan fakta dengan begitu meyakinkan sehingga saya percaya dia adalah wanita yang terzalimi.
Suami Kedua: Kebohongan Baru yang Terbongkar
Tentang suami kedua, Bunga awalnya tidak pernah mengaku kepada saya dan istri pertama saya bahwa dia pernah menikah untuk kedua kalinya. Namun, pada malam saat kami menyusun dokumen perizinan poligami di pengadilan agama, rahasia itu terungkap.
Saya terkejut ketika mengetahui bahwa Bunga pernah menikah dengan suami kedua selama tiga minggu. Dia bercerita bahwa pernikahan itu berakhir karena dia menemukan sebuah ruangan di rumah suaminya yang digunakan untuk praktik sihir. Dengan alasan itu, dia meminta cerai.
Namun, dengan segala kebohongan lain yang sudah saya ketahui, cerita ini terdengar semakin tidak masuk akal. Saya kini percaya bahwa alasan sebenarnya adalah sifat emosional Bunga yang tidak terkendali atau ternyata mantan suami keduanya ini tidak bisa dimanfaatkanya dengan baik, sebagaimana pola yang terus berulang dalam hidupnya.
Suami Ketiga: Pernikahan Siri yang Tidak Pernah Saya Ketahui
Yang membuat saya lebih terkejut adalah fakta bahwa Bunga juga memiliki mantan suami ketiga. Dia menikah secara siri dengan seorang pengusaha dengan menjadi istri kedua secara diam-diam. Saya baru mengetahui tentang keberadaan suami ketiga ini setelah berbicara dengan beberapa teman yang mengenal Bunga lebih dekat.
Menurut cerita dari suami ketiganya, pernikahan ini penuh dengan konflik. Hubungan Bunga dengan istri pertamanya sering menjadi sumber utama masalah. Bunga pernah menemui istri pertamanya dan mengatakan “Kamu tidak pantas mendampingi dia. Biarkan aku saja.”
Pernikahan ini akhirnya kandas setelah suami ketiganya ini merasa tidak tahan lagi dengan konflik yang terus terjadi. Pola itu kembali sama: penghinaan terhadap pasangan, emosi meledak-ledak, dan KDRT kepada suami.
Suami Keempat: Puncak dari Fakta yang Mengguncang
Namun, fakta yang paling mengejutkan datang dari suami keempatnya. Suami keempat ini menghubungi saya secara langsung dan mengungkapkan bahwa dia menikahi Bunga secara siri selama empat tahun.
Dalam hubungan ini, Bunga menjadi istri ketiga dari suami keempatnya, dan hubungan mereka dijalankan secara diam-diam. Bahkan orangtua Bunga tidak mengetahui hal ini meski dia sering diajak datang ke pesantren milih ayah sambung dan Ibu kandungnya.
Hubungan mereka penuh dinamika dan konflik besar. Pernikahan mereka berlangsung dengan pola putus-nyambung, yang sering kali dipicu oleh emosi meledak-ledak Bunga dan perilaku manipulatifnya.
Suami keempat menceritakan bahwa selama mereka menikah, dia sering menginap di rumah Bunga.
Kehadirannya di rumah itu tidak disembunyikan sama sekali. Tetangga, sekuriti perumahan, pembantu, bahkan anak-anak Bunga tahu bahwa suami keempatnya ini sering menghabiskan malam di sana.
Dia juga menjelaskan bahwa hampir seluruh pengeluaran Bunga selama pernikahan mereka sebenarnya dibiayai olehnya. Dari kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti listrik, internet, hingga angsuran rumah Bunga yang ternyata masih dalam status KPR sebesar tiga jutaan per bulan—semuanya ditanggung oleh suami keempat.
Yang lebih mengejutkan adalah ketika suami keempatnya menceritakan tentang akhir hubungan mereka. Dia menjatuhkan talak ketiga kepada Bunga setelah merasa tidak sanggup lagi menghadapi perilaku Bunga yang penuh konflik dan drama.
Namun, fakta yang benar-benar mengguncang saya adalah ketika saya menyadari bahwa talak ketiga itu terjadi hanya sekitar dua bulan sebelum saya menikah dengan Bunga. Setelah menghitung waktu berdasarkan keterangan suami keempatnya, saya akhirnya menyadari bahwa pernikahan saya dengan Bunga tidak sah secara agama. Saya menikahi Bunga dalam keadaan dia masih dalam masa iddah. Astaghfirulloh.
Berapa Banyak Suami yang Dimilikinya?
Setelah mengetahui fakta-fakta tentang empat mantan suaminya, saya mulai bertanya-tanya: apakah ada suami-suami lain yang belum saya ketahui? Sejauh ini, saya hanya mengetahui tentang empat suami, tetapi dengan segala kebohongannya, apa yang menjamin bahwa ini adalah batas akhirnya?
Saya juga mulai mengingat cerita-cerita Bunga tentang banyaknya pacar yang dia miliki di masa lalu. Dia sering menceritakan hubungan-hubungan itu dengan nada bangga, seolah-olah jumlah itu adalah pencapaian. Kini, saya melihat pola itu dengan lebih jelas. Bunga tampaknya tidak bisa hidup tanpa perhatian dan kasih sayang dari laki-laki. Dia haus akan kasih sayang laki-laki karena semasa kecil tidak pernah dia dapatkan dari orangtuanya.
Semua ini membuat saya menyadari bahwa hubungan dengan Bunga adalah bagian dari siklus manipulasi yang panjang, yang telah dia ulang berkali-kali dalam hidupnya. Saya bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir.
Love Scamming : Pernikahan yang Dibuat Main-main Belaka
Salah satu teman saya menceritakan bahwa tiga minggu sebelum pernikahan kami, Bunga mengundangnya untuk masuk ke dalam kamar hotelnya. Teman saya menolak, tetapi dia sedikit memaksa hingga akhirnya mereka berduaan di dalam kamar tersebut. Meskipun teman saya tidak menjelaskan lebih jauh apa yang terjadi, hal ini sudah cukup memberi gambaran seperti apa niat Bunga sebenarnya.
Fakta lain yang lebih mengejutkan datang dari seorang teman lain, yang mengaku bahwa hanya seminggu sebelum pernikahan kami, dia juga diajak Bunga untuk berduaan di dalam apartemennya. Teman ini juga tidak memberikan detail tentang apa yang mereka lakukan, tetapi situasi ini sudah berbicara banyak. Polanya jelas: Bunga tidak hanya memainkan perasaan, tetapi juga menjadikan hubungan ini sebagai permainan.
Pernikahan yang Menjadi Perbincangan dan Taruhan
Ada beberapa kawan lainnya yang akhirnya bercerita, meski awalnya mereka ragu untuk mengungkapkan apa yang mereka tahu. Dengan nada kecewa, mereka sangat menyayangkan keputusan saya menikahi Bunga tanpa lebih cermat dan detil mencari tahu latar belakangnya. “Bagaimana mungkin kamu tidak menyelidiki lebih dalam?” tanya salah satu dari mereka. Di kota ini, latar belakang Bunga yang buruk—terutama saat berurusan dengan orang lain—sudah hampir menjadi rahasia umum. Cerita tentang perilakunya telah menyebar luas, tetapi entah bagaimana, saya dan istri pertama luput dari informasi tersebut.
Teman lain menambahkan bahwa pernikahan saya dengan Bunga sempat menjadi viral di kalangan teman-teman pengusaha. Mereka yang sudah mengetahui sifat dan perilaku Bunga bahkan menjadikan pernikahan kami sebagai bahan taruhan. “Ada yang bertaruh pernikahan kalian hanya bertahan satu bulan, tiga bulan, maksimal enam bulan,” ujar seorang teman dengan nada getir. “Mereka tahu siapa dia dan bagaimana kelakuannya. Bagi mereka, pernikahan kalian hanyalah soal waktu hingga berakhir.”
Saat itu, saya dan istri pertama memang tidak terlalu jauh melihat latar belakang Bunga. Kami hanya berbekal keyakinan bahwa dia adalah keturunan ulama besar di masanya, apalagi ibunya yang menikah lagi dengan seorang kiai juga memiliki beberapa pondok pesantren. Kami melihat Bunga berasal dari keluarga pesantren, dan hal itu seolah membuat kami merasa tidak perlu memverifikasi hal-hal lainnya. Kami tidak berpikir tentang bibit, bebet, bobot secara menyeluruh. Baru kini saya sadar, bahkan dalam darah keturunan yang baik sekalipun, ada kemungkinan lahir individu yang “zonk,” seperti Bunga.
Bunga memang pandai menyembunyikan masa lalunya. Dia tidak memiliki sahabat sejati, hanya lingkaran orang-orang baru yang belum mengenalnya dengan baik. Hubungan-hubungannya selalu bersifat sementara, bertahan hingga orang-orang menyadari siapa dia sebenarnya. Ini adalah pelajaran pahit, bahwa rasa percaya tanpa kehati-hatian dapat menjadi awal dari bencana.
Penipuan dan Permainan Uang
Selain semua itu, saya juga mendengar cerita-cerita tentang bagaimana Bunga menipu orang-orang di sekitarnya, termasuk teman-temannya sendiri. Ada yang kehilangan uang puluhan juta, ada pula yang mengalami kerugian hingga miliaran rupiah akibat manipulasi dan kebohongan yang dia lakukan. Beberapa korban bahkan bercerita dengan rasa kecewa mendalam, bagaimana mereka tertipu oleh penampilan dan cara bicara Bunga yang meyakinkan.
Fakta-fakta ini membuat saya takjub sekaligus heran. Bagaimana seseorang bisa menjalani hidup dengan kebohongan seperti itu? Demi menutup topengnya lebih tebal, dia rela berselingkuh, memanipulasi, dan menipu ke sana ke mari untuk mendukung gaya hidupnya yang tampak mewah dari luar. Semua ini membuat saya mulai memahami bahwa topeng kesuksesan yang dia kenakan hanyalah ilusi.
Saya menyaksikan langsung bagaimana realita ini muncul saat saya memberikan kepercayaan kepada Bunga untuk mengelola sebuah bisnis kecil milik saya. Bisnis ini tidak besar, dengan omset kecil dan jumlah karyawan yang bahkan tidak sampai 20 orang. Saya pikir, dengan pengalamannya yang dia klaim sebagai seorang pengusaha sukses, dia akan mampu membantu bisnis ini berkembang. Namun, kenyataannya jauh dari harapan.
Selama enam bulan, saya terus mengevaluasi kinerjanya. Hasilnya membuat saya kecewa. Bunga tidak menunjukkan performa sama sekali sebagai seorang pemimpin bisnis. Bisnis kecil ini tampak berantakan—tim kerja yang tidak solid, pengelolaan keuangan yang kacau, dan ketidakpahaman tentang dasar-dasar bisnis. Tidak ada perencanaan, tidak ada visi, hanya kegagalan demi kegagalan.
Pengalaman ini membuka mata saya. Bunga hanya pandai menciptakan citra sebagai seorang “pengusaha sukses,” tetapi kenyataannya, kompetensinya sangat jauh dari klaim yang dia buat. Saya akhirnya menyadari bahwa gaya hidupnya yang serba mewah dan seperti kaum jetset hanyalah penampilan luar untuk mempertahankan topengnya.
Mungkin saja kasus-kasus keuangan yang melibatkan Bunga bermula dari inkompetensinya—ketidakmampuan untuk menjalankan tanggung jawab atau bahkan wanprestasi yang terus berulang. Ketika tuntutan gaya hidupnya tidak sejalan dengan kemampuannya, dia memilih jalan manipulasi dan kebohongan untuk tetap bertahan.
Bunga adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa hidup dengan topeng yang indah di luar, tetapi penuh kehampaan di dalam. Ini menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk tidak hanya melihat seseorang dari citra yang mereka tampilkan, tetapi juga menggali lebih dalam tentang siapa mereka sebenarnya.
NPD : Faktor Genetik dan Pola Asuh
Beberapa orang yang mendengar cerita saya tentang Bunga merasa heran dan tidak percaya. “Sebegitu parahkah?” tanya mereka dengan nada skeptis. Ada pula yang, karena tidak memahami apa itu Narcissistic Personality Disorder (NPD), menganggap cerita saya hanyalah luapan emosi seseorang yang ingin bercerai. Namun, seperti yang dijelaskan dalam literatur tentang NPD, orang-orang seperti Bunga memiliki kemampuan luar biasa untuk menjaga citra mereka di depan umum. Mereka tampil menawan dan baik hati di luar rumah, tetapi berubah menjadi monster manipulatif di dalam rumah, menghancurkan kehidupan orang-orang terdekatnya.
Di awal pernikahan, keluarga besar Bunga sering memberikan dukungan kepada kami. Ayah angkatnya, seorang kiai yang dihormati, berulang kali memberikan nasihat tentang hak dan kewajiban suami-istri. Puluhan kali, beliau menyampaikan nasihat itu dengan bijaksana, baik secara langsung kepada Bunga maupun kepada kami berdua. Nasihatnya mencakup bagaimana seorang istri harus menghormati suaminya, menjaga keharmonisan rumah tangga, dan menjalankan peran sebagai pasangan yang mendukung. Saya sangat menghargai upaya beliau, karena itu menunjukkan niatnya untuk membantu kami membangun keluarga yang harmonis.
Ibunya juga tidak kalah tegas, meskipun caranya berbeda. Jika ayah angkatnya berbicara dengan nada bijak dan lembut, ibunya sering kali memberikan nasihat dengan emosi yang meluap-luap. Tidak jarang nasihat itu disertai dengan marah-marah yang membuat Bunga menangis. Ibunya tampaknya frustrasi melihat sikap Bunga yang tidak berubah, meskipun sudah diberi begitu banyak peringatan. Saya menyaksikan sendiri bagaimana nasihat-nasihat ini membuat Bunga tampak sangat tertekan, tetapi sayangnya, tidak pernah benar-benar membawa perubahan pada sikap dan perilakunya.
Suatu hari, ayah kandung Bunga berkata kepada saya, “Apa yang kamu alami dengan Bunga, persis seperti yang saya alami dengan ibunya dulu.” Ucapan itu mengejutkan saya. Dia menjelaskan bahwa sifat-sifat Bunga—emosional, manipulatif, dan sulit diajak berdiskusi—sangat mirip dengan sifat ibunya. Inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa dia memutuskan untuk bercerai dari ibu Bunga. Penuturan ini membuka mata saya bahwa perilaku Bunga bukanlah hal yang muncul begitu saja, tetapi mungkin merupakan pola yang diwariskan, baik melalui genetik maupun lingkungan keluarga.
Suami pertama Bunga juga pernah menceritakan sebuah kejadian yang membuka mata saya lebih lebar. Ketika ibu Bunga menikah dengan ayah angkatnya, hubungan itu tidak dimulai dengan cara yang baik. Ayah angkatnya sebelumnya memiliki istri, yang akhirnya meninggalkan pernikahan karena ibu Bunga masuk ke dalam kehidupan mereka. Yang mengejutkan, ibu Bunga mengatakan kepada istri pertama suami barunya, “Kamu tidak pantas mendampingi dia untuk menjalankan pondok pesantren ini.” Kata-kata itu sangat familiar bagi saya, karena Bunga sering menggunakannya untuk menghancurkan rumah tangga suami-suaminya, termasuk saya.
Bunga sendiri pernah bercerita kepada saya bahwa setelah ibunya menikah dengan ayah angkatnya, semua aset yang dibeli, mulai dari pondok pesantren hingga properti lainnya, harus diatasnamakan ibunya. Saya kemudian berpikir, inilah cara-cara manipulasi seorang NPD untuk menguasai korbannya, bahkan hingga aspek finansial.
Namun, tidak semua keluarganya berbalik mendukung Bunga. Ayah kandungnya tetap mendukung saya hingga saat ini. Beliau mengerti dan terus memberikan semangat, bahkan sering kali berbicara dengan saya untuk mencari cara terbaik menghadapi situasi ini. Begitu pula dengan adik kandung Bunga. Dia hingga kini masih bekerja di salah satu perusahaan saya. Ketika saya bertanya mengapa dia tidak bersedia menjadi saksi di pengadilan, jawabannya membuat saya terdiam:
“Mas, saya tidak dekat dengan kakak. Selama 16 tahun, saya tinggal di kota yang berbeda, tanpa komunikasi apa pun dengannya. Saya bahkan merasa bukan dianggap sebagai adiknya lagi. Baru setelah mas menikah dengannya, saya mencoba mendekatkan diri.”
Adik kandung Bunga adalah salah satu orang yang melihat Bunga dari jarak dekat, tetapi tetap memilih menjauh. Dia memahami bagaimana sifat kakaknya, tetapi tidak pernah berani menentang secara langsung. Dalam proses persidangan, sikap berbeda justru ditunjukkan oleh ibu kandung dan ayah angkatnya, yang berbalik mendukung Bunga. Mereka menyebut Bunga sebagai wanita yang baik, paham agama, dan tidak mungkin melakukan hal-hal seperti yang saya tuduhkan.
Melihat semua ini, saya mulai memahami mengapa ibu kandung dan ayah angkat Bunga berbalik mendukungnya dalam proses persidangan. Mereka adalah apa yang disebut dalam teori NPD sebagai flying monkey. Flying monkey adalah istilah untuk orang-orang yang dimanipulasi oleh individu dengan NPD untuk mendukung atau membela mereka, sering kali tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanfaatkan. Orang-orang ini biasanya hanya melihat citra luar yang ditampilkan oleh pelaku NPD—citra yang tampak sangat baik, penuh pesona, dan tidak pernah mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-harinya.
Ibu kandung dan ayah angkat Bunga tidak pernah benar-benar melihat bagaimana perilaku Bunga di dalam rumah, bagaimana dia berinteraksi dengan saya, dan bagaimana sifat aslinya muncul dalam keseharian. Mereka hanya melihat versi Bunga yang telah dibentuk untuk tampil sempurna di luar rumah. Selain itu, saya juga menduga bahwa ayah angkatnya mendukung Bunga karena tekanan dari ibu kandung Bunga. Usia ibu Bunga yang 15 tahun lebih tua darinya mungkin membuatnya berada dalam posisi sulit untuk menentang keputusan istrinya.
Proses Perceraian yang Berliku
Saat ini kami sedang menjalani proses perceraian di pengadilan agama, yang berlangsung sangat berbelit-belit. Sudah tujuh bulan lamanya proses ini berjalan, karena Bunga sering mempersulit jalannya persidangan. Dia kerap mengulur-ulur waktu dan sudah berganti lima kali pengacara yang berbeda-beda. Entah pengacara-pengacara itu berhenti karena merasa dimanipulasi atau tidak tahan dengan perilakunya, saya hanya bisa menduga.
Ketika menghadirkan saksi-saksi di pengadilan, saya membawa empat orang saksi yang mengetahui persis bagaimana Bunga menjalani kehidupan selama menjadi istri saya. Namun, sebelum persidangan dimulai, dia mencoba mengintimidasi saksi-saksi saya. Dengan teriak-teriak di luar ruang sidang, dia menuduh bahwa saksi-saksi saya adalah saksi bayaran.
Dia sangat tahu bahwa kesaksian para saksi ini akan membongkar kebohongannya selama ini. Salah satu saksi, teman saya yang juga mengenalnya dengan baik, memberikan kesaksian bahwa dia pernah melihat Bunga, yang masih berstatus istri sah, melakukan perselingkuhan dengan dua laki-laki. Salah satu laki-laki itu adalah temannya sendiri, sementara yang lain adalah seorang pejabat terkenal.
Yang membuat para hakim terkejut adalah ketika saksi tersebut menceritakan bahwa dia melihat sebuah foto vulgar Bunga bersama pejabat tersebut, di mana mereka terlihat berduaan di sebuah kamar hotel di Bali dan hanya menggunakan pakaian dalam. Kesaksian ini tentu saja membuatnya marah besar. Namun, seperti biasa, dia menolak mengakui fakta tersebut.
Yang membuat saya dan pengacara saya geram adalah tindakannya yang justru menuntut balik saya. Dia meminta tuntutan berupa uang miliaran, rumah, dan juga vila. Untungnya, pengacara saya memahami bagaimana menghadapi seseorang dengan NPD. Dia tetap tenang dan berfokus pada pembuktian fakta di pengadilan.
Saya juga sangat berterima kasih kepada psikolog yang dulu mendiagnosis Bunga dengan NPD. Dia menyarankan saya untuk menyimpan semua bukti interaksi saya dengan Bunga, dari pesan teks hingga rekaman suara, sebagai persiapan untuk kemungkinan konflik hukum di masa depan.
Saran itu ternyata sangat berguna. Semua bukti yang saya kumpulkan selama pernikahan menjadi senjata utama dalam membantah semua tuduhan dan kebohongan Bunga di pengadilan.
Dia pasti sedang mencari korban lainnya
Dari berbagai cerita yang saya dengar dari mantan-mantan suami Bunga dan pengalaman saya sendiri, saya menyimpulkan bahwa Bunga selalu memiliki modus yang sama dalam mendekati laki-laki. Dia menampilkan dirinya sebagai korban, memainkan peran playing victim dengan keahlian yang semakin canggih dari masa ke masa.
Ketika bertemu saya, dia berhasil membuat saya percaya pada kisahnya. Dia menggambarkan dirinya sebagai korban KDRT dari suami sebelumnya, menceritakan drama rumah tangganya yang menyedihkan—suami yang suka selingkuh, bermain dukun, dan ekonomi yang pas-pasan. Semua ini diceritakannya dengan raut wajah penuh kesedihan, dibalut dengan hijab yang membuatnya tampak begitu lugu dan religius.
Bukan hanya saya, siapa pun yang tidak mengenal masa lalu Bunga akan mudah terjebak dalam jaring manipulasi ini. Jika tanpa klarifikasi dan upaya mencari tahu siapa sebenarnya Bunga di masa lalunya, laki-laki manapun yang dia dekati akan mengalami nasib yang sama seperti saya dan mantan-mantan suaminya sebelumnya.
Rasa kasihan dan empati yang seharusnya menjadi hal mulia, dimanfaatkan oleh Bunga dengan sempurna. Sebagai seorang individu dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD), dia tidak membutuhkan cinta atau hubungan yang sehat. Dia hanya membutuhkan perhatian, kendali, dan keuntungan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Kisah ini adalah pelajaran besar bagi saya. Tidak hanya tentang mengenal seseorang sebelum menikah, tetapi juga tentang pentingnya menjaga hati-hati rasa empati kita. Karena bagi orang seperti Bunga, empati itu adalah senjata yang mereka gunakan untuk menjatuhkan kita.
Mencari Kebenaran dan Memahami Pola
Ketika psikolog pertama menyatakan bahwa Bunga adalah seorang pengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD), saya merasa terguncang. Meski banyak keanehan dan manipulasi dalam perilaku Bunga yang saya alami, diagnosis itu masih sulit saya terima sepenuhnya. Rasa ragu itu membuat saya mencari second opinion. Saya menghubungi dua psikolog lainnya, masing-masing di tempat dan waktu yang berbeda.
Saya menceritakan kisah ini dari awal kepada kedua psikolog tersebut. Saya ceritakan bagaimana hubungan kami dimulai, bagaimana Bunga tampak sebagai sosok sempurna di awal, hingga semua drama, konflik, dan manipulasi yang muncul seiring waktu. Saya berusaha memberikan gambaran sejelas mungkin, berharap ada perspektif yang lebih terang.
Hasilnya membuat saya semakin yakin. Kedua psikolog, tanpa mengetahui satu sama lain, memberikan kesimpulan yang sama: Bunga adalah seorang NPD dengan level yang sangat tinggi, bahkan setara dengan sosiopat atau psikopat.
“Orang seperti ini memiliki kemampuan manipulasi yang luar biasa,” ujar salah satu psikolog. “Mereka tidak hanya bermain dengan emosi Anda, tetapi juga menciptakan realitas palsu yang membuat Anda merasa terjebak.”
Psikolog lainnya menambahkan, “Orang dengan NPD pada level ini telah mengasah kemampuannya selama bertahun-tahun. Mereka belajar dari pengalaman untuk menjadi semakin canggih, semakin hebat, dan semakin lihai dalam memanipulasi lingkungan mereka.”
Pola yang Selalu Berulang
Dari semua perilaku Bunga, saya akhirnya memahami bahwa pola-pola ini sesuai dengan teori tentang NPD yang saya pelajari. Orang dengan NPD tidak pernah benar-benar mengenal cinta. Bagi mereka, hubungan bukanlah tentang kasih sayang, melainkan tentang transaksi—apa yang bisa mereka dapatkan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Bunga memulai hubungan kami dengan fase “love-bombing.” Pada fase ini, dia memberikan perhatian, pujian, dan kasih sayang yang luar biasa, membuat saya merasa sangat istimewa. Bahkan, istri pertama saya pun terbuai dengan kesan bahwa Bunga adalah wanita yang sempurna untuk menjadi bagian dari keluarga kami.
Namun, fase itu tidak pernah bertahan lama. Setelah mendapatkan rasa percaya kami, dia memasuki fase “devaluasi.” Dia mulai merendahkan, mempermalukan, dan memanfaatkan saya. Penghinaan terhadap saya sebagai suami datang dari berbagai sisi—mulai dari masalah keuangan hingga meremehkan keputusan-keputusan saya.
Siklus itu terus berulang—love-bombing, devaluasi, penghancuran hubungan—hingga akhirnya saya merasa cukup. Saya menyadari bahwa saya tidak bisa terus terperangkap dalam siklus ini tanpa kehilangan diri saya sendiri.
Rasa Kasihan yang Tertinggal
Meski saya telah memutuskan untuk berhenti berjuang dan mengakhiri hubungan ini, ada perasaan lain yang tetap tertinggal di hati saya: kasihan.
Saya merasa kasihan pada Bunga. Dia adalah produk dari pola asuh yang salah dan trauma masa kecil yang begitu buruk. Pengabaian dari orang tuanya, kekerasan yang dia saksikan, dan pengkhianatan yang dia alami di usia muda telah membentuknya menjadi seperti ini. Dia tidak pernah benar-benar memahami arti cinta, karena dia tidak pernah mendapatkannya.
Kesadaran ini mengingatkan saya dan istri pertama saya pada pentingnya pola asuh yang baik. Kami harus memastikan bahwa anak-anak kami tumbuh dalam lingkungan yang sehat, penuh kasih sayang, dan bimbingan yang benar. Kami tidak ingin mereka membawa luka yang sama, atau lebih buruk lagi, menjadi monster baru dengan gangguan yang sama di masa dewasa mereka.
Pelajaran untuk Masa Depan
Kisah ini telah mengajarkan saya banyak hal. Bukan hanya tentang bagaimana menghadapi orang dengan NPD, tetapi juga tentang bagaimana menjaga keluarga saya dari dampak yang sama.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa mengubah masa lalu Bunga. Tetapi, saya bisa memastikan bahwa masa depan keluarga saya tidak diwarnai oleh pola yang sama. Masa depan anak-anak saya dimulai dari keputusan yang saya ambil hari ini—keputusan untuk memahami, belajar, dan melindungi mereka dari lingkaran trauma yang bisa menghancurkan generasi berikutnya.
Kisah ini bukan hanya tentang Bunga, tetapi juga tentang saya sebagai seorang suami dan ayah. Apa yang saya lakukan hari ini adalah landasan untuk kehidupan keluarga saya di masa depan. Saya hanya berharap bahwa cerita ini bisa menjadi pelajaran, bukan hanya bagi saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.
Hidup Bersama NPD: Drama yang Mengalahkan Drama Korea
Penutup
Apa yang saya ceritakan di sini hanyalah sebagian kecil dari hidup bersama seorang narsistik selama 1,5 tahun. Jika saya mencoba menggambarkannya secara lengkap, kisah ini akan dipenuhi dengan drama-drama harian yang terus-menerus, hingga membuat hidup terasa seperti medan perang tanpa akhir. Tidak ada ketenangan. Mental kita perlahan terkikis, rasa percaya diri tergerus, dan setiap hari terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca.
Banyak teman yang menyarankan saya untuk menuliskan pengalaman ini lebih detil lagi—bukan untuk membuka aib atau menyalahkan, tetapi sebagai pembelajaran bagi orang lain. Bagaimana mengenali tanda-tanda narsistik sejak awal, bagaimana melindungi diri, dan terutama, bagaimana menjaga kesehatan mental di tengah hubungan yang merusak.
Mungkin kisah ini bisa menjadi bahan untuk sebuah novel? Sebuah cerita yang tidak hanya membuka mata, tetapi juga mengajarkan bahwa kekuatan sejati ada dalam keberanian untuk melepaskan sesuatu yang tidak sehat.
Hidup dengan seorang narsistik adalah perjalanan penuh luka, tetapi dari luka itu, saya belajar untuk lebih mencintai diri sendiri dan melindungi orang-orang yang saya sayangi. Jika kisah ini bisa memberikan pelajaran kepada orang lain, maka semua yang saya alami tidak akan sia-sia.
24 Responses
pas baca bagian tentang mantan-mantannya bunga, aku jadi makin nggak habis pikir, pola kek gini kok bisa diulang-ulang ya, serem banget sih!
pas baca bagian jimat sama boneka voodoo tuh merinding banget, kok bisa ya ada orang kayak gitu, apalagi di zaman yang serba canggih gini, masih ada begituan ternyata, paraaaah
jadi paham kenapa orang kayak Bunga selalu sukses narik korban baru, mereka bener-bener ahli manipulasi, gokil sih
ceritanya bener-bener bikin aku ngeh soal tanda-tanda hubungan toksik, makasih ya bang udah mau berbagi, smg ini jadi pelajaran buat banyak orang
Thaxs SDH berbagi.meski dlm situasi pelik hadapi jiwa NPD.semoga upaya penulis bermanfaat buat banyak orang lebih hati2.percayalah tiada yg kebetulan meski sepersekian microdetik sekalipun,atas izin Nya.semoga tiada yg sia2. Allah tinggikan LG derajat korban2 NPD. Dan semoga pelaku ada kesempatan bertobat dan belajar berfikir logis dr pola nya sendiri.demi anak2nya dan dirinya sendiri. Krn Npd sakit juga